Penyelundupan Timah Kian Merajalela, Kerugian Daerah Berada Didepan Mata
BELITUNG,BERITACMM.COM
Di saat sidang korupsi timah Rp300 Triliun bergulir di Jakarta, praktik penyelundupan timahsangat nyata. Dua kasus pengungkapan pengirim pasir timah terjadi di kurun waktu Juni 2024, menguatkan indikasi praktik penyelundupan terjadi.
Pada periode Agustus- September 2024, Babel Resources Institute (BRinST) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pangkalpinang melakukan investigasi terkait praktik timah illegal di Belitung serta penyelundupan.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, ada beberapa hal yang memicu terjadinya penyelundupan timah dari Belitung. Pertama karena aktivitas penambangan timah rakyat yang masih terjadi di Pulau Belitung. Timah hasil tambang rakyat yang ditampung oleh kolektor timah yang dibeli dari pengusaha meja goyang yang ada di seantero Belitung.
Pengusaha ‘meja goyang’ adalah pengepul timah yang memiliki keahlian untuk memisahkan bijih timah sesuai kadar Organic Carbon (OC) yang merupakan metode pengukuran kadar timah.
Pada periode Juni-September 2024, aktivitas transaksi timah illegal di Pulau Belitung menggeliat seiring masuknya para kolektor timah dari Pulau Bangka. Kepentingan para kolektor timah asal Bangka adalah menyerap produksi timah dari Pulau Belitung untuk ditampung oleh pabrik peleburan timah yang ada di Bangka.
Pada periode Juni-September 2024, terjadi kenaikan harga timah di Pulau Belitung yang dari Rp.125 ribu di bulan Juni, menjadi Rp 170 ribu per kilogram timah dengan kadar OC 72.
Pemicu kenaikan harga karena kolektor timah Belitung dengan kolektor timah Bangka berebut mendapatkan timah. Pada investigasi yang dilakukan, tim dari AJI Pangkalpinang mendapatkan pengakuan dari Bt, seorang kolektor timah asal Bangka, yang berburu timah di Pulau Belitung. Sistem COD (Cash on Delivery) terjadi dalam transaksi ini, ‘ketika ada yang jual timah, kolektor langsung ke lokasi dan membeli dari pengepulkecil,’.
Timah-timah ini ditampung dan segera dikirim ke Bangka. Timah yang dikirim ke Bangka akan dikirimkan ke smelter timah. Dari hasil investigasi yang dilakukan tim BRiNST dan AJI Pangkalpinang, ada tiga opsi yang dilakukan olehpara kolektor timah yang beroperasi di Belitung.
Pertama mengirimnya melalui pelabuhan resmi, kedua, mengirimnya ke ‘pelabuhan tikus’ dan ketiga menyimpannya di smelter timah yang dalam pengurusan persetujuan ET (Eksportir Terdaftar) yang ada di Pulau Belitung.
Pada temuan pertama, praktik penyelundupan timah terjadi melalui pelabuhan resmi. Pelabuhan Tanjung Ru terindikasi sebagai tempat keluar timah dari Belitung.
Pada akhir September 2024, tim investigasi mendapati informasi jika antrean truk untuk mengirim timah ke Bangka cukup banyak, hingga lebih dari 20 truk.
“Kita mengantre, sekarang ini di depan kita ada 19 mobil, kita nomor 20,” kata Bt, seorang kolektor timah yang hendak mengirimkan timahnya ke Bangka ketika diwawancara tim AJI Pangkalpinang.
Setelah beberapa hari mengantre, ia memastikan timah yang mereka bawa telah berada di Bangka dengan melalui pelabuhan resmi milik pemerintah, Pelabuhan Tanjung Ru terletak di Pegantungan, Badau, Kabupaten Belitung.
Selasa (1/10) tim investigasi dari BRiNST dan AJI Pangkalpinang datang Pelabuhan Tanjung Ru, mendapati pelabuhan tanpa pengamanan yang ketat. Kendaraan bebas masuk dan melintas, tanpa adanya pemeriksaan.
Suhadak, Wakil UPTD Pelabuhan Tanjung Ru mengatakan mereka tidak punya kewenangan untuk memeriksa apa yang dibawa oleh truk-truk yang akan menyeberang.
Menurut Suhadak, UPTD Pelabuhan Tanjung Ru hanya menyiapkan fasilitas kepelabuhan saja. Dalam wawancara yang dilakukan oleh tim AJI Pangkalpinang, Suhadak mengubah keterangannya. Awalnya Suhadak menyebut pihak ASDP yang berkewenangan terhadap apa barang yang melintas.
Namun, ketika datang Sukisman yang merupakan Svp dari ASDP untuk Pelabuhan Tanjung Ru, Suhadak menyebut yang berkewenangan untuk memeriksa barang yang dikirim adalah pihak Aparat Penegak Hukum.
“Kita tidak tahu persis karena kita tidak punya kewenangan memeriksa semua muatan yang datang itu. Soal muatan kita tidak tahu, bukan kewenangan, tupoksi kami. Kalau di sini pihak ASDP yang melakukan pengecekan,” kata Suhadak.
Menurut dia, setiap aktivitas pemberangkatan, ada petugas yang datang termasuk dari Aparat Penegak Hukum (APH).
Bahkan pada peristiwa pengiriman pasir timah berkedok daging babi yang terungkap pada Juni lalu, ia memastikan adanya aparat penegak hukum di pelabuhan saat itu.
“Ada aparat yang stanby saat itu,” kata dia.
Suhadak mengatakan pihaknya tidak bisa menuduh ke pihak-pihak tertentu, bahkan termasuk pada kendaraan yang dicurigai mengangkut timah illegal.
“Kita tidak bisa menduga-duga, nanti orang marah. Saya tidak bisa,” kata dia.
Suhadak mengatakan operasi gabungan untuk mencegah penyelundupan timah telah dilakukan bersama-sama sejumlah instansi.
“Kita tertibkan bersama-sama, kita bergadengan kita lakukan bersama-sama. Kita siap,” kata Suhadak.
Sementara itu, Sukisman selaku Svp ASDP untuk Pelabuhan Tanjung Ru yang ada di ruangan tersebut tidak mau berkomentar.
“Saya tidak berwenang berkomentar, karena ada GM di Bangka,” katanya.
Direktur BRiNST, Teddy Marbinanda mengungkapkan dari investigasi yang dilakukan bahwa praktik penyelundupan timah dari Pulau Belitung seharusnya menjadi perhatian semua pihak.
“Jika dalam satu mobil yang melintas ada 10 ton, berapa kerugian daerah. Pendapatan daerah atau Negara yang seharusnya diperoleh daerah melalui bagi hasil timah, tentu saja tak bisa dinikmati dari praktik-praktik penyelundupan ini,” kata Teddy Marbinanda.
Menurut Teddy Marbinanda, rata-rata produksi timah Belitung dikisaran 1.000 ton per bulan, sehingga adanya praktik penyelundupan di Pulau Belitung membuat daerah ini sangat dirugikan.
“Jika di Jakarta orang sedang sibuk dengan sidang korupsi timah, ternyata tidak berpengaruh di Bangka Belitung. Praktik liar tambang timah masih merajalela,” kata dia.
Ganti Aktor
Tata kelola pertambangan timah di Indonesia masih rentan dan bercelah. Pasca kasus korupsi timah yang melibatkan 6 perusahaan timah kelas kakap di Bangka Belitung, bisnis timah masih semrawut.
Kementerian ESDM telah menyetujui rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) ada belasan perusahaan dengan kapasitas produksi 46.444 ton pada tahun 2024.
“Melihat fakta yang terjadi saat ini, sebetulnya tidak banyak yang berubah dalam tata kelola pertambangan Bangka Belitung. Justru ada kekhawatiran penyelundupan,” kata Teddy Marbinanda.
Menurut Teddy Marbinanda, dua perusahaan timah negara tetangga akhir-akhir ini meningkat produksi timahnya. Thailand Smelting and Refining, yang lebih dikenal sebagai Thaisarco pada tahun lalu memproduksi 9.200 Ton sedangkan pada tahun 2023, Malaysia Smelting (MSC) menghasilkan 20.700 metrik ton timah pada tahun 2023, naik 10,1 persen dari tahun sebelumnya.
“Kita tidak menuduh perusahaan di negara tetangga kita mendapatkan timah dari praktik penyelundupan. Namun antisipasi perlu dilakukan melihat fenomena penyelundupan timah yang marak,” kata Teddy Marbinanda.
Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung memperingatkan bahwa praktik penyelundupan timah semakin membebani lingkungan dan negara, terutama dengan tidak terkendalinya tata kelola penambangan timah.
“Penyelundupan ini menambah beban setelah skandal korupsi 300 triliun. Situasinya semakin buruk dari sebelumnya,” kata Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung.
Ia menyoroti praktik-praktik penambangan timah yang masih terus berlangsung di kawasan ekosistem esensial meskipun telah ada skandal besar. Menurutnya, aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung (Kejagung) harus segera mengidentifikasi aspek ekonomi politik dari penambangan timah ini.
“Bisnis penambangan timah harus diaudit, mulai dari level perusahaan hingga kolektornya. Investigasi mendalam diperlukan untuk memahami persoalan lingkungan dalam konteks ekonomi politik,” jelasnya.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Walhi Babel meminta penegak hukum menindak tegas segala bentuk pelanggaran hukum dalam industri ini. Ia juga mendesak agar laporan-laporan warga tentang kerusakan lingkungan yang kian masif segera ditindaklanjuti.
“Ketika perusahaan timah ditutup, harus ada langkah hukum yang jelas. Penegak hukum harus menindak aktor-aktor di balik kerusakan ini, mulai dari operator, konsolidator, hingga pengusahanya,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan agar penyelesaian masalah ini tidak hanya sebatas pergantian aktor tanpa perubahan mendasar pada sistem yang rusak. “Kalau kita lihat ini jangan sampai hanya mengganti aktornya saja,” tutupnya. (*)
Sumber Foto : ist