OPINI : Kepentingan Politik di Balik Desakan Terhadap Erzaldi Rosman
PANGKALPINANG,BERITACMM.COM
Penulis : K. Revandi Antoni
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan sekelompok orang di Jakarta di depan Kejaksaan Agung pada 19 Agustus 2024, yang menuntut pengusutan kembali terhadap mantan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, terkait kasus korupsi tata niaga timah dan perizinan lahan 1.500 hektare, patut ditelaah lebih lanjut.
Dalam konteks politik Indonesia yang penuh dengan intrik, aksi semacam ini seringkali bukan sekadar ekspresi murni dari masyarakat sipil, melainkan bisa jadi merupakan manuver politik yang didorong oleh kepentingan tertentu.
Analisis Motif Aksi:
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa aksi protes seperti yang dilakukan oleh Gerakan sekelompok orang di Jakarta dapat memiliki berbagai motif yang mendasarinya. Dalam politik, tekanan publik sering kali digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi lembaga-lembaga penegak hukum agar bertindak sesuai dengan agenda tertentu.
Dalam kasus ini, tuduhan yang dialamatkan kepada Erzaldi Rosman, yang telah menjalani masa jabatan sebagai Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, mungkin saja merupakan bagian dari strategi lawan politiknya untuk menjatuhkan kredibilitasnya.
Seperti yang telah terjadi di berbagai kesempatan sebelumnya, aksi massa seringkali tidak terlepas dari keterlibatan aktor-aktor politik yang memiliki kepentingan untuk menekan atau mengintimidasi individu-individu yang berpengaruh.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa aksi Gerakan sekelompok orang di Jakarta ini didorong oleh pihak-pihak yang ingin memaksakan Kejaksaan Agung untuk memandang Erzaldi Rosman sebagai pihak yang bersalah, meskipun proses hukum masih berjalan dan belum ada keputusan final.
Asas Praduga Tak Bersalah:
Dalam setiap kasus hukum, termasuk yang menimpa Erzaldi Rosman, asas praduga tak bersalah harus selalu dijunjung tinggi. Asas ini adalah pilar utama dalam sistem hukum Indonesia, yang termaktub dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas ini bertujuan untuk melindungi hak-hak individu dari tindakan sewenang-wenang dan memastikan bahwa proses hukum berjalan adil tanpa adanya tekanan dari pihak luar.
Dalam konteks ini, upaya mendesak Kejaksaan Agung untuk segera menetapkan Erzaldi Rosman sebagai tersangka sebelum proses hukum yang berlaku selesai, dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah.
Kasus Timah dan Lahan PT Narina Keisya Imani (NKI):
Kasus korupsi tata niaga timah dan perizinan lahan 1.500 hektare yang disebut-sebut dalam aksi tersebut adalah kasus yang kompleks dan memerlukan pembuktian yang mendalam. Proses hukum terkait kedua kasus ini sedang berlangsung, dan segala tuduhan harus dibuktikan berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan tekanan massa atau opini publik yang dibentuk oleh kelompok tertentu.
Sebagai contoh, tuduhan terhadap Erzaldi Rosman dalam kasus perizinan lahan yang melibatkan PT Narina Keisya Imani (NKI) sedang dalam tahap penyidikan.
Hingga saat ini, belum ada bukti yang cukup untuk menetapkan mantan Gubernur Babel tersebut sebagai tersangka. Kejaksaan Tinggi Babel harus diberikan waktu dan ruang untuk melakukan penyidikan secara independen tanpa adanya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan Sekelompok orang di Jakarta patut dicermati dengan hati-hati, terutama terkait dengan motif di balik tuntutan mereka. Mengingat prinsip-prinsip hukum yang menjamin keadilan, seperti asas praduga tak bersalah, kita harus waspada terhadap segala upaya yang mencoba mempengaruhi proses hukum dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Proses hukum harus dihormati dan berjalan sesuai dengan mekanisme yang ada, tanpa tekanan dari massa atau kepentingan politik tertentu. Dalam negara hukum, keadilan harus ditegakkan berdasarkan bukti dan fakta, bukan atas dasar opini atau desakan pihak-pihak tertentu yang mungkin memiliki agenda tersembunyi.