Draft Final RKUHP Terus Menuai Kritik, Dosen Hukum UBB Turut Angkat Bicara!
Pangkalpinang,BERITACMM.com
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyerahkan draft final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI. Rancangan undang-undang ini masih menjadi sorotan setelah sempat memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat pada 2019 lalu.
Hingga akhirnya DPR dalam rapat paripurna terakhir yang digelar pada 30 September 2019 memutuskan menunda pembahasan RUU KUHP. Ketua DPR sekaligus pimpinan sidang saat itu Bambang Soesatyo menyatakan bahwa RKUHP menjadi salah satu dari lima RUU yang ditunda dan akan dilanjutkan atau carry over pada periode berikutnya.
Kini setelah hampir tiga tahun berselang, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah akhirnya menyerahkan draft final RKUHP kepada DPR untuk dibahas.
Tentunya draft final RKHUP ini terus menuai polemik dikalangan masyarakat hingga para pengamat kebijakan publik karna draft final tersebut dinilai dapat ‘membungkam’ masyarakat sebagai warga negara yang menganut demokrasi.
Menyikapi hal ini, Ndaru Satrio seorang Dosen Hukum di Universitas Bangka Belitung (UBB) mengatakan bahwa RKUHP Final memang kita dapati, namun pro konta terhadap RKUHP ini juga tidak dapat kita hindari.
Menurut Ndaru, ada beberapa hal yang menjadi perhatiannya sebagai akademisi antara lain adalah:
- Pasal 2 dan Pasal 595 yang mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat. Walaupun kita menganut sifat melawan hukum meteriil namun keberadaannya harus diperjelas. Apabila tidak diperjelas dan dipertegas, keberadaannya dapat mengarah ke sifat melawan hukum meteriil dalam arti negatif yang justru dapat menggerus makna yang terdapat dalam KUHP tersebut.
- Pasal 218 dan 220 yang terkait dengan penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut lagi-lagi harus dijelaskan dengan jelas sehingga tidak mengarahkan pada penegakan hukumnya tidak bersifat subjetif.
- Pasal 281 yang mangatur contempt of court dapat menimbulkan konflik hukum berupa kekaburan norma. Keberadaannya dapat ditafsirkan lebih dari satu penafsiran yang pastinya mengarahkan ke perdebatannya dengan kebebasan menyampaikan pendapat dengan melandaskan pada sebuah dasar berupa asas dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Selain ketiga hal di atas memang masih ada beberapa hal yang harus dijelaskan makna dan tujuannya, sehingga tidak muncul penafsiran yang beraneka ragam di masyarakat,” ungkapnya.
Lanjutnya, karena jika hanya mendasarkan pada gramatikal semata tanpa menggunakan penafsiran dan konstruki hukum yang tepat terhadap RKUHP, maka makna dan tujuan yang hendak dicapai oleh pembentuk RKUHP ini tidak maumpu tertranfer dengan baik ke masyarakat.
“Implikasi dari adanya kondisi ini adalah konflik pemahaman yang akan bermuara pada kepentingan-kepentingan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertangung jewab,” pungkas Ndaru.
(Jek)
Foto : Sukabumi update