Sertifikat Tanah Milik Nasabah Digadaikan Kembali Oleh Penyedia Jasa Gadai, Melanggar Gak Ya? Ini Kata Verona Valencia
Pangkalpinang,BERITACMM.com
Pada umumnya, tidak sedikit masyarakat awam yang belum sepenuhnya mengetahui dan memahami teknis maupun prosedur penyedia jasa gadai. Berikut penjelasan Verona Valencia, seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung.
Menurut Valencia, ada beberapa contoh sengketa atau masalah yang sering kali kita ditemukan. Misalkan salah seorang nasabah yang menggadaikan sertifikat rumah atas nama suami perjanjiannya anggap saja 10 kali angsuran. Namun, dikarenakan atas sesuatu hal, nasabah tersebut berniat melunasi hutang tersebut dikarenakan ingin menjual rumah yang sertifikatnya digadaikan tersebut.
Namun, pihak pemberi pinjaman dinilai mempersulit nasabah dan dianggap belum bersedia menyerahkan sertifikat itu sebelum hutang-hutang nasabah lain dinyatakan lunas.
“Nah, yang menjadi pertanyaan mengapa sertifikat tersebut bisa dijaminkan untuk hutang orang lain tanpa persetujuan tuan atau pemilik sah sertifikat ? Apakah hal tersebut lumrah, atau justru sebuah pelanggaran?,” ungkapnya.
Melansir dari laman Legal Smart Channel, Ia menjelaskan, berdasarkan permasalahan hukum yang disampaikan diatas, dapat dijelaskan bahwa gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
“Pengertian gadai diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata, yang berbunyi : Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan,” jelas Valencia.
“Bahwa hak gadai itu sendiri bersifat accesoir. Artinya, hak gadai merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya,” sambungnya.
Lanjut Valencia, dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian pokoknya hapus. Hak kebendaan gadai ditimbulkan dari perjanjian. Karena itu, perjanjian gadai harus memenuhi syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang bunyinya : Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yakni kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang.
Ia juga mengingatkan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
“Ketentuan ini dikenal juga sebagai prinsip pacta sunt servanda. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa segala klausul yang disepakati bersama oleh para pihak (selama tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata) sah dan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut,” tutur mahasiswi UBB ini.
Lebih lanjut, diungkapkan Valencia, bahwa mengenai keterangan klien yang menyampaikan bahwa pihak pemberi pinjaman tidak mau memberikan sertifikat tersebut kepada klien sebelum hutang-hutang nasabah yang lain lunas, dan itu tanpa persetujuan klien, artinya sertifikat rumah klien dijaminkan untuk hutang orang lain tanpa minta persetujuan klien terlebih dahulu maka hal tersebut tidak dibenarkan jika tidak diperjanjikan sebelumnya dalam perjanjian utang piutangnya.
Dan hal ini melanggar syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
“Jadi apabila dalam perjanjian utang piutang antara klien (debitur) dengan pemberi pinjaman (kreditur) tidak memuat klausul pemberian wewenang kepada kreditur (Pemberi Pinjaman) untuk menjaminkan sertifikat klien untuk hutang-hutang orang lain, dan tanpa persetujuan klien, maka apabila hal tersebut tetap dilakukan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad),” pungkasnya.
(Jek)