OPINI : Skeptisisme Rokok, Sebagai Pahlawan Atau Harus Dilawan?
Pangkalpinang,BERITACMM.com
Penulis : Widy Yuli Susanto
Foto : Ilustrasi
Rokok berbahan utama tembakau, berupa lintingan atau gulungan tembakau yang dibungkus dengan tembakau itu sendiri, kertas, ataupun kulit jagung dengan panjang dan diameter yang bervariasi.
Tembakau sebagai komponen utama rokok merujuk kepada daun tembakau kering yang dirajang maupun tidak dirajang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999 pasal 1 ayat 1, rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Tembakau merupakan tanaman asli Benua Amerika yang digunakan oleh penduduk asli di benua tersebut sebagai obat sebelum Bangsa Eropa tiba pada abad ke-15. Prof Anne Charlton menulis sebuah karya yaitu Journal of the Royal Society of Medicine.
Dalam artikelnya, tertulis bahwa orang eropa pertama yang mencoba menggunakan tembakau untuk tujuan medis adalah Christopher Columbus.
Columbus menyadari pada 1492 bahwa tembakau diisap oleh penduduk di kepulauan yang sekarang bernama Kuba, Haiti, dan Bahama. Kadang kala daun tembakau dibakar layaknya obor untuk membantu mensucihamakan atau mengusir penyakit dari sebuah tempat.
Menurut Wellcome Collection yang merupakan museum sekaligus perpustakaan kesehatan, abad ke 19, pipa atau rokok menjadi aksesori wajib bagi dokter, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran-khususnya di ruang bedah. Mereka dianjurkan mengisap rokok secara bebas guna menutupi bau jenazah serta melindungi mereka dari ancaman penyakit yang timbul dari jenazah. Sekarang rokok dianggap barang berbahaya.
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), rokok dapat menyebabkan penyakit kanker paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit jantung iskemik dan penyakit kordiovaskuler lain, ulkus peptikum, kanker mulut atau tenggorokan atau kerongkongan, penyakit pembuluh darah otak, dan gangguan janin dalam kandungan. Bersumber dari data BPS, persentase penduduk merokok usia 15 tahun keatas tahun 2022 sebesar 28,26 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers kebijakan CHT 2022 yang dilakukan secara virtual, “Biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9 triliun sampai Rp 27,2 triliun per tahun. Dan dari total biaya ini, Rp 10,5 triliun sampai Rp 15,6 triliun merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS kesehatan”.
Hasil riset yang dilakukan oleh University of Illinois di Chicago, menyebutkan bahwa harga rokok di Indonesia menduduki ranking harga termurah peringkat 10 dari 36 negara Asia Pasifik.
Pemerintah berupaya untuk melakukan pengendalian konsumsi rokok, salah satunya dengan cara menaikkan tarif cukai dengan harapan akan mengurangi konsumsi rokok terutama kalangan menengah kebawah.
Diperkirakan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Usai rapat dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor tanggal 3 November 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa kenaikan tarif CHT pada golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Pangan (SKP) akan berbeda sesuai golongannya.
Dilema atas dampak tembakau dirasakan karena cukai dari produk hasil tembakau menyumbang pendapatan yang cukup besar bagi negara. Data dari Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa realisasi pendapatan dari cukai hasil tembakau pada tahun 2020 sebesar Rp 170,24 triliun, tahun 2021 sebesar Rp 188,81 triliun, dan periode Bulan Januari 2022 sampai dengan Bulan September 2022 sebesar Rp 153,05 triliun.
Berdasarkan data tersebut, hasil pendapatan negara dari cukai tembakau relatif stabil bahkan saat adanya pandemi Covid. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 2/PMK.7/2022 tentang rincian dana bagi hasil cukai hasil tembakau menurut daerah/kabupaten/kota tahun anggaran 2022 yang diubah menjadi PMK Nomor 25/PMK.7/2022 menyebutkan total Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tahun 2022 sebesar Rp 3,87 triliun yang disalurkan untuk 25 Provinsi penghasil cukai dan/ atau penghasil tembakau.
Penyaluran DBH CHT berdasarkan PMK Nomor 215/ PMK.7/2022 digunakan untuk mendanai program peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/ atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Dampak positif lainnya adanya industri tembakau di suatu wilayah adalah penyerapan tenaga kerja yang cukup besar.
Dalam menyikapi dampak positif dan negatif atas adanya industri rokok diperlukan kepala yang dingin. Pemerintah diharapkan sebagai penengah sekaligus regulator yang mempunyai solusi sebagai penjembatan antara pro dan kontra terhadap industri rokok.
Kenaikan tarif cukai tembakau yang diatas ambang batas kemampuan daya beli akan menyebabkan para perokok mencari alternatif lain sehingga memunculkan rokok-rokok ilegal sebagai barang substitusi.
Kesadaran perokok untuk tidak merokok di sembarang tempat juga diperlukan sebagai salah satu bentuk toleransi saling menghargai atas hak-hak orang lain.
Disclaimer, tulisan ini sebagai opini pribadi penulis dan tidak mewakili instansi ataupun organisasi manapun.