BeritaDaerahNasionalPemerintahan

Bagaimana Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum? Ini Penjelasannya!

Bagikan Berita

Pangkalpinang,BERITACMM.com

Sopriyanti, S.A.P selaku Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Pertama Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Pangkalpinang, menerangkan dengan sangat rinci terkait bagaimana penerapan keadilan restoratif dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, berikut penjelasannya.

Anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Kondisi anak dalam kematangan fisik dan mental sangat berbeda dengan orang dewasa.

Oleh karena itu, saat berhadapan dengan hukum anak harus memperoleh perlakuan khusus yang layak untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.

Di Indonesia, upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum sebenarnya telah lama dilakukan, salah satunya dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1997 dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.

Undang-Undang Nomor 11 merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1997 yang diharapkan dapat memberikan jawaban dari persoalan-persoalan yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1997.

Apa itu anak berhadapan dengan hukum ??

Anak berhadapan dengan hukum yang kemudian disingkat dengan sebutan ABH berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terdiri dari :

  1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
  2. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
  3. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya.

Jadi dapat dikatakan disini bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya. (Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004).

Keadilan Restoratif Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum

Umbreit (2004) dalam tulisannya Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims, The Center for Restorative Justice menjelaskan bahwa : “Restorative justice is a “victim-centered response to crime that allows the victim, the offender, their families, and representatives of community to address the harm caused by the crime”. ” (Keadilan Restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana”.)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Restorative justice dianggap cara berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang. Terhadap Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal tentunya sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak.

Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.

Diversi sendiri menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Diversi memiliki tujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Adapun syarat dan ketentuan diversi telah diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Salah satu penggagas UU Sistem Peradilan Perlindungan Anak (SPPA) yang juga merupakan ahli perlindungan anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Apong Herlina, menjelaskan terdapat 3 hasil penting pelaksanaan UU SPPA.

Pertama, meningkatnya jumlah anak yang diproses secara diversi. Kedua, berkurangnya jumlah anak yang ditahan, Ketiga, menurunnya jumlah anak yang dipenjara.

Berdasarkan data Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum MA) yang menyebutkan penanganan anak di Pengadilan Negeri sepanjang tahun 2014-2016. Di tahun 2014, terdapat 1.823 perkara dengan anak sebagai pelaku, masuk di semua pengadilan negeri di Indonesia.  Di tahun 2015, jumlah perkara yang masuk di pengadilan negeri sebanyak 5.426. Sedangkan keberhasilan pelaksanaan diversi dari jumlah tersebut sebanyak 3%. Kemudian di tahun 2016, dari 6.679 jumlah perkara yang masuk di pengadilan negeri, terdapat 4% keberhasilan pelaksanaan diversi.

Hal ini mengindikasikan bahwa sepanjang kurun waktu 2014 – 2016 terdapat peningkatan jumlah anak yang diproses secara diversi.

Sepanjang Juli 2014-Juli 2016, Data Ditjen Pas Kemenkumham menyebutkan bahwa jumlah tahanan anak di tahun 2014 sebanyak 1.873 orang. Sementara di tahun 2015, terdapat 653 orang dan 2016 sebanyak 766 orang anak.

Hal ini mengindikasikan bahwa sepanjang kurun waktu 2014 – 2016 terdapat penurunan jumlah anak yang ditahan.
Sepanjang tahun 2014-Juli 2016, data Ditjen Pas menyebutkan pada 2014 terdapat 3.268 narapidana anak di seluruh Indonesia.

Kemudian di 2015, mengalami penurunan sebanyak 2.615 orang. Sementara di 2016, terus mengalami penurunan sehingga berjumlah 2.340 orang.

Hal ini mengindikasikan bahwa sepanjang kurun waktu 2014 – 2016 terdapat penurunan jumlah anak yang dipenjara karena terlibat proses hukum.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan keadilan restorative dalam upaya memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum dapat memberikan altenatif lain dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berhadapan dengan hukum selain pidana penjara upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan ABH, konsep pendekatan keadilan restoratif menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak sebagai wujud perlindungan anak.

Penulis : Sopriyanti, S.A.P selaku Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Pertama Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Pangkalpinang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *