BeritaDaerahNasionalPemerintahan

Kabid Infrastruktur dan Kewilayahan Bappeda Akhirnya Buka Suara, Beberkan Sebab Rendahnya Sanitasi Aman di Babel

Bagikan Berita

PANGKALPINANG,BERITACMM.COM

Setelah sebelumnya sempat diberitakan lantaran sulit untuk dikonfirmasi, Kabid Infrastruktur dan Kewilayahan Bappeda Babel, Martini akhirnya buka suara.

Kepada laman media ini Kamis (14/03), Martini  mengutarakan permintaan maafnya lantaran merasa slow respon dalam menjawab pertanyaan dari awak media yang disempat dilayangkan kemarin, mengenai angka sanitasi aman di Babel.

“Mohon maaf kalo slow respon karena waktu-waktu saya jarang pegang-pegang Handphone,” tutur Martini.

Mengenai rendahnya angka sanitasi aman di Babel, diakui Martini, memang ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, seperti program IPAL komunal yang belum cocok untuk masyarakat Babel lantaran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan masih terbilang cukup rendah.

“Kedua, fungsi IPLT belum optimal dan juga kurangnya informasi bagi masyarakat terkait sanitasi aman,” ungkapnya.

Seperti diketahui, Sanitasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat yang pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. 

Ditahun 2023 kemarin, tercatat sanitasi aman di Babel hanya berkisar diangka 6,12 persen saja atau jauh dari target yang ditetapkan pada tahun 2024 yakni 5 persen.

Bahkan, apabila berkaca pada Arah kebijakan nasional 2025-2029, di bidang sanitasi terdapat perubahan paradigma dari target sanitasi layak dan aman menjadi aman dan berkelanjutan sebesar 30%. 

Artinya dengan capaian akses sanitasi aman 2023 di provinsi Babel yang hanya 6,12 persen tentu masih terdapat gap 23,88 persen atau 96.500 rumah tangga.

Lebih jauh, dikatakan Martini, pemerintah sebenarnya sudah mengintervensi dengan sinkronisasi program antar OPD terkait dalam percepatan pembangunan sanitasi aman di Babel.

Namun terlepas dari itu, lanjut dia, masih tetap ada permasalahan yang terjadi, diantaranya, belum siapnya dokumen perencanaan, sulitnya merubah pola hidup masyarakat yang membenarkan kebiasaan, bukan membiasakan kebenaran.

“Ketiga, koordinasi antar tingkatan harus ditingkatkan dan terakhir harus adanya dukungan dari stakeholder terkait,” pungkasnya.

(JK/CMM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *